Meskipun memiliki pekerjaan utama sebagai dokter, proses kreativitas tidak menghalangi Dyah Retno Wulandari, seorang seniman perempuan yang berasal dari Batu, Malang. Sejak di Sekolah Dasar, Dyah memang sudah memiliki hobi menggambar. Segala macam teknik melukis sudah pernah ia coba, namun teknik watercolor menarik perhatiannya. Selama pandemi covid pada tahun 2019, ia mencoba menekuni teknik watercolor. Menurutnya, teknik tersebut jauh berbeda ketika ia menggunakan akrilik dan cat minyak, dan hasil lukisan dari watercolor memiliki efek khusus yang tidak dimiliki oleh teknik lainnya. Selain itu, penggunaan watercolor baginya adalah suatu hal yang praktis dan fleksibel karena pembersihan alat yang mudah, mengingat bahwa Dyah adalah seorang dokter dengan berbagai kesibukan. Karena itulah penggunaan watercolor adalah pilihan yang tepat baginya untuk berkarya.
Memfokuskan dua hal sekaligus memanglah tidak mudah. Menjadi seorang dokter membutuhkan tanggung jawab yang besar dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Tapi hal ini tidak membuat Dyah berhenti berkarya. Ia kerap meluangkan waktu untuk melukis dan mengikuti beberapa event seni mendatang. Dalam beberapa waktu tertentu, terkadang Dyah menemui kesulitan untuk menyelesaikan suatu karya. Meskipun begitu, Dyah tidak menganggap bahwa berkarya merupakan suatu beban. Karena pada dasarnya ia memang sangat senang melukis dan menjadikan hal tersebut sebagai hobi. Bahkan dengan melukis ia dapat mengekspresikan diri, menuangkan ide gagasan serta menjadikan pelepas penat dari huru-hara kehidupan.
Selama berkarya, Dyah aktif dalam komunitas seni dan banyak mengikuti pameran baik secara offline maupun online. Beberapa pameran yang telah diikuti Dyah antara lain, pameran Indonesian Society of Botanical Artist, Jiwi International Watercolor Exhibition 2022, Japan Nadeshiko Watercolor Triennale 2023, Time Out Exhibition, dan masih banyak lagi. Melalui kegiatan seni, Dyah juga menjalin koneksi dengan berbagai seniman lain untuk berbagi pengalaman dan bertukar pikiran agar saling berkembang. Secara pribadi Dyah menargetkan dirinya untuk setidaknya sekali dalam setahun mengikuti acara kesenian baik itu pameran atau kompetisi. Karena itu, penting baginya untuk mempersiapkan diri dari jauh hari agar tidak mengganggu kegiatannya yang lain.
Seni adalah suatu ungkapan dari perasaan yang muncul di dalam diri manusia1 . Karya seni seringkali muncul dari pengalaman pribadi seniman yang melibatkan perasaan, penginderaan dan pikiran didalamnya. Seni tersebut dibangun melalui garis, warna, bunyi, atau bentuk, mengungkapan perasaan seorang seniman kepada orang lain agar dapat merasakan apa yang dirasakan oleh seorang seniman2 . Pengalaman seni seseorang dapat memengaruhi kreativitas dan ekspresi dalam menciptakan sebuah karya seni, seperti halnya yang telah dirasakan oleh Dyah. Melalui pengalaman dan perasaan yang ia dapatkan dalam lingkungan kerjanya, ide dan emosi yang muncul divisualisasikan di atas cat dan kertas. Salah satu pengalaman yang paling tak terlupakan bagi Dyah adalah ketika menghadapi pandemi COVID- 19. Peran dokter sebagai garda terdepan sangat krusial dalam menghadapi pengobatan dan penanganan pasien COVID-19. Mau tidak mau, mereka menghadapi resiko dan mengorbankan kesehatan pribadi untuk menangani pasien. Dyah merasa situasi yang ia hadapi seperti perang yang berlarut-larut. Perang yang begitu menguras tenaga, pikiran, mental, dan bahkan semangat untuk berjuang. Setiap hari kepalanya dipenuhi oleh pemikiran akan hidup dan mati, serta pertanyaan seputar kapan semua ini akan berakhir. Pengalaman inilah yang menjadi awal mula salah satu proses berkarya Dyah. Tampak pada salah satu lukisan, terdapat seorang tenaga kesehatan yang mengenakan hazmat sedang terduduk di sudut ruangan pasien. Ia membenamkan wajah pada tangannya dan terlihat frustasi. Atmosfer yang dihadirkan pada lukisan tersebut begitu kuat, terasa suram dan penuh keputusasaan. Pemilihan warna yang gelap pun turut menambah kesan yang dingin dan kelabu.
Melalui karya tersebut, Dyah Retno bermaksud menceritakan tentang bagaimana kondisi para tenaga kesehatan yang sedang tidak baik-baik saja selama masa pandemi COVID- 19. Tidak hanya kehabisan tenaga, namun juga hampir semua material terkuras karena menangani banyaknya pasien. Waktu demi waktu berlalu, namun tetap saja belum ditemukan titik terang dari kondisi ini. Pasien datang silih berganti, telepon tidak berhenti berdering seakan tidak mengenal waktu. Tidur nyenyak pun sudah lama tidak ia rasakan. Dyah mengatakan bahwa kesedihan dan keputusasaan kerap menjalar, mengetahui fakta bahwa mereka memiliki keterbatasan untuk bertindak meskipun sangat memahami kondisi yang ada. Selain menuangkan persperktif dan emosi sebagai garda terdepan melalui lukisan, Dyah juga menyisipkan sebuah harapan didalamnya. Ia berharap bahwa pandemi yang tengah melanda
akan segera berakhir.
Tidak jarang Dyah mengangkat fenomena disekitarnya menjadi sebuah karya, khususnya apa yang ia alami dan rasakan ketika menjadi seorang dokter. “Hunger of Air” merupakan karya lainnya yang mengangkat tema COVID-19. Sapuan watercolor pada lukisan tersebut tampak saling beradu di atas kertas, memberikan kesan amarah, perlawanan, dan berani dengan paduan warna yang lebih bold. Kali ini, Dyah keluar dari zona nyaman dalam menciptakan karyanya. Biasanya, ia menggambarkan figur manusia tanpa memperlihatkan bagian wajah. Namun kali ini, ia menghadirkan eskpresi yang teraut dramatis dari seorang figure manusia yang tengah mencekik lehernya, wajahnya tampak berusaha membebaskan diri dari suatu jeratan. Lukisan berukuran 25 cm x 22 cm ini telah memenangkan kompetisi dalam kategori social concious category dalam All Color Art Competition 2021.
Menurut Dyah, lukisan “Hunger of Air” merupakan lukisan ter dramatis yang pernah ia buat. Lukisan ini merepresentasikan manusia yang menginginkan kebebasan. Rasa muak dan jenuh akan wabah pandemi COVID-19 yang telah menuntut tiap orang untuk menggunakan masker agar tidak terpapar virus. Besar keinginan untuk lepas dari semua hal menjerat, dengan rasa kerinduan akan menghirup udara segar secara bebas. Sapuan watercolor yang memenuhi latar tersebut merupakan sebuah gambaran dari dunia luar yang sedang tidak baik-baik saja. Dyah benar-benar menuangkan emosi yang ada pada dalam dirinya dan membangun sebuah koneksi emosional di dalamnya. Pada akhirnya, perasaan dan pengalaman yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata dapat disalurkan dan dikomunikasikan melalui sebuah karya seni3 .
Selain memamerkan lukisan dan mengikuti beberapa kompetisi seni, Dyah juga kerap mengunggah berbagai hasil lukisan ke akun Instagram pribadinya. Deskripsi yang terkandung bahkan makna dibaliknya juga seringkali ia tulis dalam unggahannya. Selain sebagai bentuk dokumentasi pribadi, Dyah juga ingin membagikan ide gagasannya yang telah ia bangun melalui lukisan berdasarkan pengalaman batinnya. Dalam hal ini, Dyah telah berhasil menyalurkan perasaan yang sama kepada para audiens, dan bahkan memberikan suatu pengalaman seni secara tidak langsung.
Usaha untuk mencapai ke titik ini bagi Dyah Retno memanglah tidak mudah. Berbagai rintangan telah ia rasakan selama proses berkarya. Mulai dari bereksperimen dan melewati berbagai uji coba dalam mengembangkan teknik watercolor, hingga mengorbankan waktu di tengah-tengah kesibukan. Menurutnya, berurusan dengan waktu merupakan kesulitan yang sampai saat ini seringkali ia alami. Ada saat dimana ketika Dyah memiliki banyak waktu, mood untuk melukis tidak muncul. Begitupula sebaliknya, apabila ia sedang mood untuk melukis, Dyah terkendala oleh waktu. Ia bahkan mengatakan bahwa banyak sekali projek lukis yang belum sempat ia lanjutkan. Ia ingin hasil karya yang dibuat olehnya berakhir dengan memuaskan. Meskipun beberapa karya nya memerlukan waktu yang lebih lama, Dyah tetap menikmati satu demi satu proses yang sedang ia jalani dan tidak menganggap bahwa menciptakan sebuah hasil karya adalah suatu beban. Dyah berkeinginan untuk terus belajar dan berkembang bersama karya-karya nya.
1 Tolstoy, L. (2020). Apakah Seni Itu?. Indonesia: Basabasi.
2 Dharsono , S. K. (2017). Seni Rupa Modern, Rekayasa Sains: Bandung.
3 Zulkarnain, A., & Salim, N. (2021). Kajian Estetika Karya Poster Propaganda Perang Dunia I & II Berdasarkan Perspektif Teori Ekspresi Leo Tolstoy. de-lite: Journal of Visual Communication Design Study & Practice, 1(1), 43-52.